Friday, January 30, 2015

Pilihan

Aku memilih untuk memaafkannya
Lalu mendadak hatiku tenang
Seperti aliran sungai yang berkelok sedikit
Namun airnya mengalir tenang

Aku memilih untuk memaafkannya
Lalu mendadak hilang beban di dada
Sesak yang kadang muncul
Sedikit demi sedikit mulai menipis

Aku memilih untuk memaafkannya
Meski dia mungkin selamanya
Tak akan memaafkanku
Meski aku tak tau apa salahku

Aku memilih untuk memaafkannya
Setelah hampir satu tahun lamanya
Dirinya memutuskan tak lagi menyapa
Dan lebih memilih untuk menghindar

Aku memilih untuk memaafkannya
Setelah lelah mencari tau
Apa sebabnya mengacuhkanku
Dan tak mau menjawab pertanyaanku

Aku memilih untuk memaafkannya
Setelah lelah bertanya "kenapa"
Namun tak pernah ada jawabnya
Dari dirinya

Aku memilih untuk memaafkannya
Aku memilih untuk menaikkan harga diriku
Aku memilih untuk menyayangi diriku
Aku memilih untuk menjadi "orang asing" bagi dirinya

Aku memilih untuk memaafkannya
Membiarkan segala tingkahnya
Tak mencoba memahaminya
Hanya membiarkannya saja

Aku memilih untuk memaafkannya
Aku ingin hatiku lega
Aku ingin merasa lega
Dengan atau tanpa penjelasannya

Aku memilih untuk memaafkannya
Karena aku ingin bahagia
Dan aku bisa bahagia
Jika hatiku mengijinkan

*Puisi gak jelas tentang sebuah perasaan :D
*Terinspirasi dari buku "Kurangkul Diriku Demi Merangkul Bahagiaku" oleh Toge Aprilianto
*Saat kawanmu berubah menjadi aneh

Monday, January 12, 2015

kenangan

Mereka memainkan lagumu, mbak..
Aku tau, karena dulu, duluuuu sekali kau pernah mengatakan padaku bahwa kau sangat menyukai lagu itu. Sejak saat itu, jika aku mendengar lagu itu, aku langsung teringat padamu.
ah mbak,
Aku jadi teringat awal-awal pertemuan kita.
Kau begitu mengerikan, hahahahahaa
Mengerikan karena kau jutek dan galak. Kau terkenal karena kau galak. Kami takut mendekatimu, waktu itu.
Namun, setelah mengenalmu..aku yakin kau lumayan ramah. Dan aku lupa, moment seperti apa yang akhirnya bisa mendekatkan kita. Seingatku, kita jadi sering pergi bareng. Kau sering memberiku tumpangan ke kampus, ke Pusat Bahasa (tempatku sering berjumpa dengan 'dia'). Lalu kita sering ngobrol bareng, belanja baju bareng, ke salon bareng, jalan-jalan ke bandung rame-rame. Dan yang paling kuingat, saat kita bela-belain lembur nonton drama korea Full House di kamarku, setelah siangnya berhasil beli CDnya di Pasar Turi.
Masa yang indah ya mbak. Sampai kau harus pergi ke Swedia.
Aku kaget melihatmu saat itu, belum ada tempat tinggal dan....terlihat sakit. Senyatanya, itu bukan hanya terlihat, melainkan kau sungguh sakit. Beberapa kali aku menemanimu ke dokter, dan aku ikut bingung akan sakitmu itu. Aku tau, kau kesal dengan keadaanmu waktu itu. Apalagi waktu kau bilang bahwa sakitmu itu tak biasa. Bahwa ada temanmu yang membuatmu sakit begitu.
Lalu aku harus pergi ke Jakarta. Jika aku tak salah mengingat, saat itupun kau sudah pulang ke Bali, rumah orang tuamu, jadi ada yang bisa merawatmu. Maaf, aku lupa kejadian saat itu.
Beberapa bulan di jakarta, salah seorang teman kita memberiku kabar. Ah, kabar yang sungguh tak ingin aku dengar. Engkau berpulang. Aku tak ingin percaya. Sang pemberi kabar, memberiku nomor hp saudaramu, kakak atau adikmu, sekali lagi, aku lupa. Berjam jam aku menunggu kabar, atau..berhari-hari? Sampai akhirnya dia mengirimiku sms, yang membenarkan berita itu. Aku lari ke toilet. Aku menangis disana. Hanya untuk berharap bahwa kabar itu tidak benar. Bahwa kau hanya membohongiku, lalu datang menemuiku di jakarta, berkata bahwa semua baik-baik saja.
Agak lama baru hatiku bisa menerima fakta, walaupun kadang, di hatiku masih berharap, kau masih berdiri tegak di bumi ini.
Ah, aku begitu kehilanganmu, mbak
Berbahagialah disana.

Thursday, January 8, 2015

pintu itu terkunci

toilet itu terkunci
sudah dua hari ini, tak ada yang bisa menggunakan toilet itu kecuali satu orang. Dia yang namanya tak usah disebut. Selama dua tahun terakhir ini dia berada di lantai yang berbeda dengan kami. Seminggu yang lalu, dia datang. Dan memang itu toiletnya. Toilet khusus untuk orang seperti dia. Kami yang selama dua tahun ini bebas menggunakannya, kini harus menerima fakta bahwa kesenangan itu harus lenyap.
Kurasa, dua pintu toilet di lantai ini masih kurang. Pada jam-jam tertentu akan banyak antrian. Seperti tadi pagi, ada dua yang sudah menunggu di luar. Salah satu diantaranya, wajahnya sudah pucat. Aku berbasa basi:"Perlu batu?". Dia tertawa. "Karet gelang juga bisa kok", ucapnya. Kami tertawa.

*based on true story :)

Wednesday, January 7, 2015

asap rokok

ah
aku selalu kesal jika berurusan dengan orang yang merokok yang dengan semena mena merokok di ruang ber ac ini. Di kantor.
Aku selalu kesal dengan mereka yang tak memedulikan kenyamanan dan kesehatan orang lain. Aku tak peduli jika mereka merokok, ASALKAN tidak ditempat umum. Pake ruangan khusus merokok lah..dan silakan hirup sepuasnya asap rokok anda itu.

well, kekesalan ini mungkin salad satu tanda bahwa aku perlu rekreasi hati. Bahwa jika ada perlakuan orang lain yang bisa membuat kita kesal, itu artinya ada yang salah dengan diri kita. Karena itu selalu tentang diri kita sendiri. Ya ampun...jika hal itu masuk dalam mata kuliah, entah kapan aku bisa lulus..

Aku tadi memang berteriak. Ya, berteriak pada orang itu. Dia bukan karyawan kantor. Dia penjual entah apa. Dia penjual yang entah bagaimana bisa keluar masuk dengan aman nyaman, padahal kami banyak yang merasa risih dengan banyaknya penjual/orang asing keluar masuk ruangan kami. Ironis dengan kenyataan bahwa pimpinan tertinggi telah menempatkan 86 marinir di kantor ini demi menjaga keamanan kantor. Ah, senyatanya para penjual itu masih dengan gampangnya keluar masuk ruangan kami.

Ada sedikit penyesalan dari diriku. Sedikit? Tentu saja. Itu cukup kok. Aku cukup menyesal karena berteriak pada orang itu tadi karena rokoknya cukup mengganggu. Aku berteriak karena dia tak juga menyadari bahwa aku dari tadi mengibas-ngibas kertas untuk menghalau asap rokoknya.

Tapi lain kali, aku akan mencoba bersikap secara elegan dalam menegur orang.